Jim Marshall, pemain bertahan dari tim Minnesota Vikings – sebuah tim profesional American Football yang tergabung dalam liga National Football League (NFL), berlari dengan penuh semangat sejauh 60 meter untuk mencetak skor bagi timnya. Namun alih-alih mendapat elukan dari rekan setim, pelatih serta jajaran stafnya, dan juga fans timnya yang nonton di langsung di stadion, justru doi mendapat sorak sorai dari pendukung tuan rumah, tim San Francisco 49ers, yang jadi lawannya kala itu.
Lalu mengapa hal itu terjadi?, ternyata Marshall berlari menuju ujung lapangan timnya sendiri (endzone) untuk mencetak gol bunuh diri. Kejadian tersebut merupakan salah satu kesalahan paling fatal dan memalukan yang terjadi di NFL.
Video kesalahan memalukan yang dilakukan oleh Marshall, dapat dilihat pada link berikut:
https://www.youtube.com/watch?v=PWrUiRvvBmw
Marshall bak orang yang abis kena gendam. Linglung. Sama linglung-nya kayak momen dimana J.R. Smith, pemain tim bola basket NBA, Cleveland Cavaliers, justru membawa bola menjauh dari area pertahanan lawan dan bukannya mencoba melakukan lemparan untuk mencetak skor bagi timnya. Untung saja saat itu masih ada LeBron James yang ngasih tahu posisi ring lawan, sehingga doi terhindar dari kesalahan seperti yang dilakukan Marshall.
Beranjak menuju olahraga sepakbola yang kita cintai, salah satu kesalahan fatal yang terjadi dalam satu dekade terakhir yang paling diingat tentu saja apa yang dilakukan Karius pada final Liga Champions 2018, kala Liverpool bersua Real Madrid. Dua gol “cuma-cuma” diberikan Karius buat Madrid, untuk membuat rekan setim jadi frustasi, serta “menghadiahkan” Madrid trofi Liga Champion untuk ke-13 kalinya.
Respon
Carol Susan Dweck, seorang profesor psikologi di Universitas Stanford, dalam salah satu buku best seller-nya yang berjudul Mindset, membagi mindset seseorang menjadi dua jenis, yakni Mindset Tetap dan Mindset Tumbuh.
Salah satu pembeda orang dengan mindset tetap dengan tumbuh yaitu respon-nya terhadap sebuah kesalahan dan juga kegagalan. Orang dengan mindset tetap akan mencari pembenaran, menyalahkan selain dirinya sendiri, atau malah makin terpuruk dengan meragukan kemampuannya sendiri dan menyetujui pendapat orang lain bahwa dirinya merupakan orang yang gagal, sedangkan orang dengan mindset tumbuh melakukan hal sebaliknya.
Kembali dengan kejadian yang menimpa Marshall dan Karius, dua respon berbeda ditunjukkan.
Marshall memberikan respon dengan memikirkan cara memperbaiki penampilan dirinya termasuk perihal peningkatan konsentrasi selama pertandingan ketika istirahat turun minum, dibanding harus terus menerus memikirkan kesalahan konyol di babak sebelumnya. Alhasil penampilannya makin membaik setelah turun minum, dan berhasil membawa timnya menang dengan skor 27-22 atas tim tuan rumah. Dan setelah pertandingan tersebut, tiada lagi kesalahan fatal yang dilakukan oleh Marshall, dan hingga ujung karirnya, doi menjadi pemain bertahan yang diperhitungkan di NFL.
Berbeda 180 derajat dengan Marshall, karier Karius malah makin menukik selepas laga Final UCL 2018. Liverpool meminjamkan Karius menuju Besiktas setelah musim 2017/2018 berakhir. Mungkin pertimbangan Liverpool kala itu, selain blunder fatal yang dilakukan Karius, meminjamkan Karius ke tim lain sebagai upaya menjauhkannya dari tekanan fans Liverpool yang masih gedeg dan juga olok-olok fans lawan, dan berharap doi bisa reborn di Beskitas, sehingga nantinya doi dapat kembali ke Liverpool dengan kondisi mental yang lebih baik dan siap menjadi kiper yang dapat kembali diandalkan.
Namun harapan Liverpool ternyata jauh api dari panggang. Penampilan Karius di Besiktas tidak membaik. Begitu juga ketika doi dipinjamkan ke Union Berlin. Penampilannya tidak kunjung memberi harapan. Doi bahkan hanya bermain 4 kali saja selama satu musim berkostum Union Berlin. Liverpool sebenarnya sudah tidak memperhitungkan lagi Karius sebagai kiper mereka, namun karena tidak ada tim peminat, Karius akhirnya kembali ke Liverpool dengan status sebagai kiper keempat.
Bayangkan, dari kiper yang pernah mencatatkan 9 clean sheets dan menyelamatkan dua penalti pada musim 2015-2016 bersama Mainz 05, hingga akhirnya terpilih sebagai kiper terbaik kedua pada musim tersebut di bawah Neuer, menjadi kiper yang bahkan tidak dilirik sama sekali oleh tim lain hanya dalam jangka waktu 6 tahun saja.
Kesalahan Radu
Atmosfer laga lawan Bologna awalnya biasa aja. Selain bukan rival berat, Bologna di musim ini juga bukan saingan untuk memperebutkan Scudetto. Namun hal tersebut berubah, kala pertandingan yang awalnya akan dilakukan pada pekan ke-20, diundur hingga Serie-A memasuki pekan ke-34. Pekan dimana posisi INTER berada di bawah Milan yang berada di puncak dengan posisi tertinggal 2 poin, dimana satu pertandingan masih di tangan INTER.
Atmosfer kontra Bologna pun berubah. Suasananya bak laga final. INTER wajib menang untuk menyalip posisi Milan di puncak, untuk selanjutnya dapat menentukan nasib-nya sendiri di sisa perburuan mendapatkan gelar juara Serie-A.
Namun di pertandingan yang sangat krusial ini, tiba-tiba Handanovic dan Bastoni mengalami cedera, dengan Radu dan Dimarco menjadi pengganti mereka.
Pertandingan seolah bakalan jadi milik INTER, karena di menit-menit awal Perisic sudah dapat menjebol gawang lawan, dan setelahnya beragam peluang didapatkan INTER melalui permainan yang cukup apik. Tetapi semua berubah, ketika Bologna mampu menyamakan kedudukan melalui mantan penggawa treble, Arnautovic, yang mampu menang duel atas Dimarco.
Selepas kebobolan, pemain INTER tampak nervous. Kewajiban untuk menang, seolah menggelayuti dan membebani para pemain di lapangan. Permainan berubah menjadi tidak terpola dan tampak terburu-buru dibanding 20 menit-an laga berlangsung.
BACA JUGA:
1). Jangan Kejar 2 Kelinci Sekaligus
2). [Giornata 17] Roma 2–2 INTER: Handa yang Doyan Lakuin Mannequin Challenge
3). [Giornata 5 Serie–A 21/22] Fiorentina 1–3 INTER: Pondasi itu Masih Kokoh
4). [Giornata 4 Serie–A 21/22] INTER 6–1 Bologna: Teror Denzel
5). [Matchday 1 UCL 21/22] INTER 0–1 Madrid: Unlucky
6). [16 Besar Copa Italia] Fiorentina 1–2 INTER: Inner Game Seorang Eriksen
7). [Giornata 15} INTER 6–2 Crotone: Sudah Saatnya Vidal Temani Kolarov di Bench
8). [Giornata 16] Sampdoria 2–1 INTER: Apa yang sebenarnya ada dalam kepala Conte?
Di tengah upaya untuk mencetak gol kemenangan, blunder yang tidak terkira terjadi. Niat Radu untuk mengumpan kepada rekan lainnya setelah mendapat umpan lemparan kedalam dari Perisic, tidak kesampaian. Kaki Radu malah menendang angin dan bukan bola, sehingga bola lepas menuju gawang sendiri, dan justru seperti memberi assist bagi Sansone untuk mencetak gol yang kedua. Sialnya di sisa pertandingan, para pemain INTER gagal mencetak gol balasan atau bahkan kemenangan, sehingga laga harus berakhir dengan kekalahan buat INTER. Kekalahan yang menyebabkan INTER tidak bisa menentukan nasib-nya sendiri dalam perjalanan merengkuh Scudetto. INTER harus menang pada laga yang tersisa, sambil berharap Milan kepleset oleh tim lain.
Sama halnya dengan Karius, Radu juga terlihat menangis selepas laga. Blunder yang membawa tim-nya kalah dan juga bisa berakibat kegagalan dalam mempertahankan Scudetto, sangat memukul telak perasaan Radu. Hal yang wajar, karena pada laga amat penting dan laga yang juga harusnya doi unjuk gigi di saat kesempatan bermain itu datang, doi malah menghancurkan momen tersebut.
Belajar dari Rekan Setim
Walau sama-sama menangis di akhir pertandingan, kita berharap respon Radu selanjutnya berbeda dengan yang dilakukan oleh Karius. Masih tersisa 3 pertandingan yang menentukan, dan kejadian cederanya Handanovic bisa saja kembali terjadi. Radu harus bangkit dengan cara memperbaiki penampilannya dengan meningkatkan konsentrasinya selama pertandingan berlangsung seperti respon yang dilakukan Marshall terhadap kesalahan fatalnya.
Radu dapat menjadikan kejadian yang dialami Marshall sebagai inspirasi. Atau kalau terasa kejauhan, Radu dapat melihat rekan setimnya sebagai contoh nyata.
Pertama, Skriniar. Skriniar yang digdaya di bawah arahan Spalletti pada skema 4 bek, awalnya mengalami kesulitan di bawah Conte yang menggunakan skema 3 bek. Bahkan ada isu bahwa doi bakalan dijual ke Spurs.
Tapi alih-alih banyak mengeluh mengenai Conte dan skemanya, dan berkoar untuk pindah tim, doi memberikan respon yang luar biasa. Bekerja keras dalam senyap untuk membuktikan diri, memberikan hasil yang nyata. Skriniar semakin menggila musim ini dan menjadi monster untuk lini belakang INTER, baik ditempatkan sebagai bek tengah kanan ataupun bek tengah-tengah menggantikan posisi de Vrij. Doi pun sekarang digadang-gadang menjadi salah satu calon kapten masa depan INTER. Dari yang tadinya hendak dipinggirkan menjadi tidak tergantikan.
Kedua, Eriksen. Eriksen contoh lain dari seorang petarung kehidupan. Dipermalukan Conte dengan dimasukkan pada menit-menit akhir laga ketika lawan Bologna pada musim 2020/2021, yang dilakukan untuk mengulur-ngulur waktu pertandingan, serta jarang dimainkan pada paruh pertamanya di musim tersebut, Eriksen bereaksi dengan kerja keras dan pikiran positifnya yang menjadikannya pilihan utama di paruh kedua serta senjata rahasia INTER dalam merengkuh gelar Scudetto pada musim lalu.
Pada musim ini pun Eriksen membuat “keajaiban”. Di tengah rasa pesimis orang-orang yang menilainya sudah tidak akan mampu bertanding efek dari penyakit jantung yang dideritanya, Eriksen kembali mematahkan keraguan banyak orang dengan kembali ke lapangan dan menjadi pemain kunci bagi Brentford yang berkompetisi pada liga terbaik di muka bumi ini.
Ketiga, Perisic. Penampilan Perisic pada musim ini bisa dikatakan sebagai penampilan terbaiknya selama membela INTER. Performa yang konsisten dengan kemampuan bertahan dan menyerang yang luar biasa baik, menjadikannya tidak tergantikan di posisi bek sayap kiri, sehingga ketika Gosens datang pun, doi tidak tergoyahkan.
Siapa sangka, Perisic yang saat ini menjelma menjadi pemain kunci INTER, adalah pemain yang menurut Conte pada awal kedatangannya tidak cocok bermain sebagai bek sayap. Oleh karenanya doi dikirim ke Munchen pada saat itu. Untunglah, setiba kembali dari Munchen, doi lebih mau berjuang untuk nyetel pada skema yang diinginkan Conte, daripada bersungut-sungut mengeluhkan posisi barunya di tim.
Keempat, Dumfries. Dumfries datang ke INTER dengan ekspektasi cukup berat. Doi diharapkan mampu menggantikan Hakimi yang bermain ciamik di musim sebelumnya. Namun penampilannya di awal musim jauh dari harapan, dan kerap kali mendapat hujatan dan dibanding-bandingkan dengan Hakimi oleh fans INTER akibat permainan inkonsistennya. Bahkan doi melakukan kesalahan cukup fatal dengan melakukan pelanggaran yang memberikan penalti penyama kedudukan saat INTER bertemu Juventus di Serie-A.
Tapi alih-alih patah arang dengan segala cemoohan tersebut, Dumfries terlihat terus memperbaiki penampilannya. Aspek bertahannya jauh lebih berkembang dibandingkan ketika awal musim. Walau masih banyak aspek lain yang harus dibenahi, Dumfries terlihat mau bekerja keras untuk mendapatkan tempatnya dibandingkan harus terpuruk mendengarkan penilaian negatif dari fans INTER.
Kelima, Handanovic. Handanovic mengalami penurunan performa dalam beberapa musim ke belakang. Refleksnya jauh menurun, seiring dengan usianya yang sudah menginjak pertengahan kepala 3.
Para fans INTER sudah gerah ketika Handa sering kali tidak memberikan reaksi apa-apa saat bola bergulir ke arah gawangnya. Manajemen pun akhirnya bergerak dengan mendatangkan Onana dengan proyeksi awal sebagai pengganti Handa untuk musim depan.
Namun sekarang malah kita dibuat kebingungan antara Handanovic atau Onana yang akan mengawal gawang INTER di musim depan. Penampilan kapten sedikit demi sedikit menujukkan perubahan ke arah yang lebih baik pada musim ini. Doi sekarang lebih bereaksi dan berupaya terhadap segala tendangan dan sundulan yang mengarah ke arah gawangnya. Teranyar bagaimana doi dapat menepis dengan luar biasa tendangan bebas Deulofeu – sesuatu yang sebelumnya lebih banyak dilihat saja oleh Handa.
Sang kapten menunjukkan kekuatan tekadnya untuk memperbaiki penampilan dan memberi bukti bahwa dirinya masih layak berada di INTER.
Contoh nyata rekan-rekan setim-nya yang mampu bangkit dari segala kesalahan seharusnya mampu menjadi inspirasi Radu supaya tidak tenggelam dalam kesalahan.
Sulit untuk melihat Radu di musim depan, karena kedatangan Onana serta kemungkinan bertahannya Handanovic, namun kita berharap bahwa karir-nya selepas dari INTER tidak terjun bebas seperti Karius serta mendapat tim yang mampu menjadikannya penjaga gawang utama, karena walau bagaimanapun doi merupakan bagian dari skuat INTER bahkan sejak dari junior, dan ikut serta menjadi bagian tim yang memperoleh gelar juara Liga Italia di musim yang lalu.
Mindset
Mindset tumbuh tentu kita harapkan tidak hanya dilakukan Radu atas kesalahan yang diperbuatnya tapi oleh seluruh elemen yang ada di INTER sebagai respon kekalahan atas Bologna, terutama para penggawa yang akan bertarung di lapangan pada sisa laga perebutan Scudetto serta Copa Italia.
Dan kalaupun akhirnya Scudetto dan Copa Italia gagal diraih, mindset tumbuh harus terus ditanamkan dan mengakar, sehingga musim depan, INTER dapat kembali dengan lebih kuat melalui berbagai upaya perbaikan atas kekurangan yang terdapat pada musim ini serta bekerja lebih keras untuk merengkuh kembali berbagai gelar juara pada kompetisi yang diikuti di musim mendatang.