Sendok Emas Inzaghi

Golden Spoon merupakan salah satu webtoon dari LINE yang dulu ketika on going sempat saya ikutin namun di tengah jalan akhirnya menyerah karena ngerasa alurnya menjadi bertele-tele saat webtoon tersebut mulai banyak yang membaca.

Webtoon yang kemudian pada tahun 2022 diangkat menjadi serial Drama Korea tersebut, berkisah mengenai seorang anak SD bernama Sung Chon yang lahir dan besar dari keluarga yang sederhana (baca: MISKIN) namun hangat seperti Keluarga Cemara. Kala masalah keuangan seperti enggan lepas dari keluarga tersebut, Sung Chon kerap berangan-angan bisa mempunyai orang tua tajir melintir seperti yang dimiliki teman satu kelasnya yang bernama Tae Yong.

Sesuatu yang awalnya merupakan sebuah impian tiba-tiba bisa menjadi kenyataan ketika seorang nenek yang ditemui Sung Chon di pinggir jalan, menawarinya sesuatu yang mampu membuatnya menjadi anak orang kaya secara instan. Bukan pesugihan atau gabung MLM dengan biaya awal 2,6 juta yang ditawarkan oleh nenek tersebut (untuk hal ini mungkin ada aturan soal zonasi jadi hanya ada di Indonesia dan nggak nyampe Korea), namun melalui pemakaian sebuah sendok emas yang mampu melakukan penukaran diri secara sepihak dengan target yang seumuran. Tawaran yang tentu saja sangat menggiurkan dan sayang kalau dilewatkan. Berhubung korbannya harus seumuran, Sung Chon akhirnya memilih Tae Yong untuk tukar posisi. Alhasil Sung Chon menjadi anak orang kaya secara sadar, sedangkan Tae Yong beralih ke keluarga Sung Chon yang miskin dengan kondisi seperti sudah tercuci otaknya.

Cerita ginian emang kayaknya relate dan juga menarik bagi anak-anak yamg brojol dari keluarga miskin, apalagi yang lahir dari negara dunia ketiga seperti Indonesia ini, yang lebih banyak orang susahnya secara ekonomi ketimbang senangnya. Selain imajinasi pengen punya kantong ajaibnya Doraemon yang bisa ngeluarin alat-alat yang ada dalam fantasi kepala kita, khayalan anak-anak orang miskin (termasuk saya dan mungkin juga kamu yang masa kecilnya prihatin) adalah merasakan menjadi anak orang yang sugih. Memiliki orang tua yang bisa memberikan segalanya bagi sang anak mulai dari konsol game terbaru, belajar di sekolah dan bimbel terbaik, kendaraan yang mewah, nggak pusing soal ekonomi keluarga, bahkan bisa menjadikannya seorang Wakil Pres….. (waduh tiba-tiba ada tukang bakso baru depan rumah) merupakan impian yang sering berkelindan bagi seorang anak dengan kondisi seperti Sung Chon.

Jangankan anak-anak sih, yang udah bangkotan dengan kondisi hidup tengah morat-marit pun mungkin pernah punya impian liar untuk bisa berada dalam keluarga sultan, seperti berharap terlahir dari rahim seorang Nagita Slavina dengan bapak seorang Raffi Ahmad serta mempunyai saudara Rafathar dan juga Cipung.

Inzaghi Bersaudara

Sahabat saya pernah curhat bahwa dirinya acap merasa sedih karena orang tuanya sering kedapatan olehnya membanggakan pencapaian kakaknya di depan tetangga, keluarga besar, atau siapa pun yang mau mendengar kisah sukses saudaranya tersebut, seolah apa yang selama ini diperjuangkan dan telah diraih sahabat saya kurang berarti di mata orang tuanya. Sesuatu hal yang kemudian ternyata menciptakan rasa tersingkir dalam keluarga dan membuatnya ingin “mengalahkan” pencapaian kakaknya supaya dapat di-notice oleh orang tuanya.

Entah apakah yang dilakukan orang tua sahabat saya dilakukan juga oleh orang tuanya Inzaghi bersaudara, namun rasanya mempunyai saudara dengan pencapaian jauh lebih mentereng apalagi dengan jenis pekerjaan yang digeluti sama, nampaknya akan mengecap perasaan seperti yang dialami sahabat saya.

Bagi saya dan juga kamu yang mulai mengikuti Serie-A semenjak akhir tahun 90-an, maka kita turut menyaksikan masa kejayaan seorang pemain yang kata Sir Alex Ferguson terlahir dalam posisi offside. Inzaghi dengan F sebagai huruf awal nama pertamanya, penyerang cerdik dengan kemampuan ciamiknya dalam penempatan posisi di ruang-ruang kosong yang kerap tidak disadari bek lawan, ditambah dengan finishing mematikannya, menjadikannya bagai seekor rubah dalam kotak penalti lawan (fox in the box).

Karir F. Inzaghi sebagai pemain sepak bola bisa dibilang paripurna. Hampir semua titel di level klub berhasil digenggamnya, mulai dari 3x juara Serie-A, 1x juara Coppa Italia, 2x juara Supercoppa Italia, 2x juara UCL, 2x juara Piala Super Eropa, dan 1x juara dunia antar klub, yang diraihnya bersama dua klub yakni AC Milan dan Juventus. Kesuksesannya tidak berhenti hanya di level klub, namun terus mengikutinya sampai level tim nasional, dengan menjadi bagian dari skuat Italia yang mampu merengkuh gelar juara dunia keempat pada tahun 2006.

Pada era yang hampir bersamaan, terdapat Inzaghi lain dengan S sebagai huruf pertama pada nama depannya. Sama halnya dengan F. Inzaghi, Inzaghi yang usianya lebih muda 3 tahun ini pun memilih sepak bola sebagai mata pencaharian dengan posisi yang sama yakni menjadi seorang striker, dan di antara keduanya terdapat pertalian darah karena berasal dari ibu dan bapak yang sama.

Berbeda dengan A. Bastoni dari INTER dengan S. Bastoni yang bermain untuk Spezia, yang walau sama-sama memiliki “marga” Bastoni, namun mereka tidak memiliki hubungan darah. Beruntungnya bagi S. Bastoni karena meski punya nama belakang sama dengan andalan INTER dan timnas Italia di lini belakang tersebut, orang nggak akan banyak mengaitkan dan membandingkan pencapaian keduanya yang saat ini bagai Bumi dengan langit. Perlakuan berlainan tentu akan menghampiri Inzaghi bersaudara, orang-orang seperti sudah secara “otomatis” melakukan perbandingan karena terutamanya ada ikatan darah di antara mereka.

BACA JUGA:

1). Takdir Inzaghi

2). Lukaku, Bumi Tidak Hanya Berputar Untukmu Saja

3). Udinese 12 INTER: Paranoid Membawa Kemenangan

4). [Giornata 17] Roma 22 INTER: Handa yang Doyan Lakuin Mannequin Challenge

5). [Giornata 15} INTER 62 Crotone: Sudah Saatnya Vidal Temani Kolarov di Bench

Pencapaian S. Inzaghi selama berkarier sebagai pemain sepak bola sebenarnya bisa dibilang tidaklah buruk melalui raihan 1x juara Serie-A, 3x juara Coppa Italia, 2x juara Supercoppa Italia, dan 1x juara Piala Super Eropa – yang semuanya dimenangkan saat berseragam Lazio, namun apalah daya jika harus disandingkan dengan pencapaian sang kakak yang jauh lebih mengkilap dengan kontribusi lebih nyata, membuat sang adik tidak benar-benar di-notice oleh banyak orang selama berkiprah di dunia sepak bola.

Orang-orang saat itu ketika disebutkan nama Inzaghi akan lebih mengingat F atau Filippo Inzaghi dan bukan saudaranya. Mungkin S. Inzaghi akan lebih banyak dikenang oleh para pendukung Lazio dan juga INTER, karena dialah salah satu pemain Lazio yang memupus penantian lama INTER untuk kembali menjadi Scudetto lewat golnya yang memastikan mengubur impian segenap Interisti di dunia saat itu.

Sendok Emas Inzaghi

Walau dengan usia yang lebih muda, S. Inzaghi memutuskan pensiun lebih cepat dibandingkan kakaknya. Pada usia 34 tahun di musim 2010/2011, S. Inzaghi mulai mencoba peruntungan lain di dunia sepak bola dengan menjadi seorang pelatih.

Setelah menangani Lazio Youth dan Lazio U-17 pada tiga musim awal kepelatihannya, pada musim 2013/2014, S. Inzaghi diangkat menjadi pelatih kepala Lazio U-19 atau kelompok umur yang lebih dikenal dengan nama Primavera. Tidak butuh waktu lama, pada musim itu juga Inzaghi berhasil mempersembahkan trofi Coppa Italia Primavera, dan musim selanjutnya, S. Inzaghi mampu back to back meraih gelar Coppa Italia Primavera yang ditambah dengan capaian Piala Supercoppa Italia.

Prestasi cukup bagus pada tingkatan kelompok usia, membuat S. Inzaghi mendapat kepercayaan menjadi caretaker pelatih kepala Lazio selama 7 pertandingan terakhir pada musim 2015/2016 menggantikan posisi Stefano Pioli yang dipecat usai kalah telak 4-1 pada Derby della Capitale.

Musim selanjutnya, nasib baik terus menghampiri S. Inzaghi. Bielsa yang ditunjuk jadi nakhoda tim Biancoceleste untuk musim 2016/2017, tiba-tiba mengundurkan diri karena tidak sepakat soal transfer pemain dengan pihak manajemen tim, padahal doi baru beberapa hari saja ditunjuk sebagai pelatih kepala Lazio. Bak dapat durian runtuh, Presiden Lazio, Lotito, mengangkat S. Inzaghi untuk menggantikan posisi Bielsa.

Selama 5 musim membesut Lazio dari musim 2016/2017 hingga 2020/2021, S. Inzaghi seolah hampir melakukan copy paste prestasi di tingkat usia muda ke tim senior. Lazio dibawanya menggapai sekali juara Coppa Italia pada musim 2018/2019 serta dua kali merengkuh Piala Suppercopa Italia di musim 2017/2018 dan 2019/2020.

Selain membawa trofi di lingkup domestik, Inzaghi juga berhasil membawa Lazio menempati posisi ke-4 di Serie-A pada musim 2019/2020, yang membawa tim tersebut kembali berlaga di Liga Champions pada musim depannya. Capaian tersebut seolah menebus kesialan di musim sebelumnya saat Lazio gagal di laga akhir perebutan posisi 4 besar kala bersua INTER di kandang mereka sendiri.

Pencapaian S. Inzaghi dengan tampilan permainan tim yang atraktif untuk tim seperti Lazio yang tidak dipenuhi pemain bintang kelas satu, membuat apa yang selama ini doi lakukan di Lazio tergolong sukses. Namun selama S. Inzaghi belum mendapatkan setidaknya trofi utama pada kejuaraan domestik yakni gelar Scudetto, maka masih banyak yang memasukkan doi dalam kategori pelatih grade B yang potensial dan bukan tergolong pelatih papan atas Italia. Mungkin jika dibandingkan dengan para pelatih yang melatih tim Serie-A saat ini, S. Inzaghi berada satu kelas dengan Italiano, Ivan Juric, dan juga Motta.

Impian S. Inzaghi untuk naik kelas menjadi pelatih grade A, terbuka lebar, setelah doi kembali mendapat durian runtuh yang lebih besar kala Conte tidak melanjutkan kiprahnya menjadi pelatih INTER.

Sunning melalui Marotta dan tim manajemen seolah seperti nenek yang memberikan sendok emas bagi Sung Chon, memberikan jalan bagi S. Inzaghi untuk meraih segala kemungkinan berbagai gelar juara yang tersedia di level klub.

Berada di klub yang lebih kuat secara finansial dengan ambisi besar dan sejarah sebagai pemenang, S. Inzaghi benar-benar menggunakan sendok emas dengan sangat baik, dimana puncaknya doi berhasil membawa INTER meraih bintang kedua pada musim kemarin secara dominan lewat keunggulan mencapai 19 poin dari posisi kedua dan hanya mengalami dua kali kekalahan dari satu tim yang sama, dan menjadikannya sebagai pelatih terbaik Serie-A musim 2023/2024. Raihan Scudetto menyempurnakan pencapaian dua kali juara Coppa Italia serta hattrick beruntun juara Supercoppa Italia, serta runnerup final Liga Champions pada musim 2022/2023.

S. Inzaghi kini bertransformasi dari pelatih potensial spesialis Piala Ciki menjadi salah satu pelatih papan atas Italia, dan saat ini menjadi pelatih dengan bayaran tertinggi di Serie-A setelah kontraknya diperpanjang INTER hingga tahun 2026.

Saat sekarang ini, ketika disebutkan nama Inzaghi, maka kemungkinan besar di benak banyak orang, nama yang muncul akan mulai bergeser, dari sang kakak menjadi adiknya – S atau SIMONE INZAGHI.

Dan semoga saja meski sang pemberi sendok emas pertama kepada Simone Inzaghi yakni Sunning, harus menyerahkan kepemilikannya kepada sang pemberi utang, Oaktree, kita sebagai Interisti, tentu berharap bahwa Oaktree akan terus memberikan sendok emasnya kepada Inzaghi, melalui dukungan besar kepada kebutuhan tim, dan bukan malah melakukan downgrade dengan menyerahkan sendok perak kepada Simone Inzaghi.

Oh ya, jika Sung Chon menggunakan sendok emas dengan mengorbankan temannya Tae Yong dalam pertukaran nasib dirinya, maka coba tebak siapa yang menjadi “korban” sendok emas Simone Inzaghi?, saya kira kamu sudah bisa menerkanya :).

Tagged , , , ,

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp chat