Dalam sebuah sesi wawancara antara Charlie Rose – seorang jurnalis dan host sebuah talk show asal Amerika Serikat, dengan Michael Moritz selaku pimpinan Sequoia Capital – sebuah perusahaan modal ventura besar yang juga ikut menyuntikkan dana ke Gojek pada tahun 2015 yang lalu, Rose bertanya apa kiat sukses Sequoia Capital yang didirikan pada tahun 1972 tersebut hingga mampu bertahan dan berkembang lebih dari 4 dekade lamanya. Moritz menjawab bahwa mereka selalu ketakutan akan kemungkinan perusahaan mengalami kebangkrutan, sehingga membuat mereka tidak bisa santai dan lalai.
Video wawancara lengkap antara Charlie Rose dengan Michael Moritz dapat disimak pada link berikut ini:
Sikap paranoid-lah yang ternyata membawa Sequoia sejauh ini, menjadikannya tetap waspada, waras dengan kondisi dan ancaman dari para pesaing yang telah ada dan akan bermunculan, dengan pikiran yang tidak melayang akan skenario indah di masa mendatang yang belum terjadi.
Paranoid Inzaghi dan Tim
Inzaghi melewati musim pertamanya di INTER dengan rasa getir. Impian untuk meraih Scudetto pertamanya dan membawa klub barunya mempertahankan gelar, hilang setelah disalip Milan-nya Pioli menjelang lintasan akhir kejuaraan.
Padahal awalnya, musim tersebut seperti akan berjalan mulus dengan akhir yang indah. Permainan cantik mengalir dengan hasil yang baik membawa INTER berada di puncak klasemen dalam waktu yang lama. Situasi yang membuai pikiran Interisti, bahwa nantinya tim ini akan mengangkat piala di akhir musim dengan dua bintang akan tersemat di jersey tim musim depannya.
Seandainya Inzaghi bisa kembali ke masa lalu dengan ingatan pada masa sekarang, setidaknya Inzaghi akan sangat mewanti-wanti timnya pada dua laga yang terjadi di musim tersebut, sehingga berharap cerita di akhir musim akan berbeda.
BACA JUGA:
1). Takdir Inzaghi
2). Lukaku, Bumi Tidak Hanya Berputar Untukmu Saja
4). Jangan Kejar 2 Kelinci Sekaligus
5). [Giornata 17] Roma 2–2 INTER: Handa yang Doyan Lakuin Mannequin Challenge
Laga pertama tentunya ketika melawan Bologna pada partai tunda pekan ke 20 yang digeser pelaksanaannya setelah pekan ke 34. Posisi di klasemen saat itu, INTER sudah disalip Milan dengan beda 2 poin, namun jika menang melawan Bologna, puncak klasemen akan kembali menjadi milik INTER. Sayang naskah indah itu tidak kesampaian. Laga yang diperkirakan tidak akan sulit dihadapi INTER, mengingat performa Bologna di musim tersebut yang tidak mengesankan hingga terdampar di posisi 13 sampai pekan ke 34, berubah menjadi sesuatu yang rumit.
Sebenarnya INTER mengawali pertandingan dengan sangat baik, lewat permainan apik sepanjang hampir 30 menit babak pertama dan bahkan unggul ketika laga baru memasuki menit ketiga lewat sepakan Perisic. Namun semua itu berubah ketika Arnautovic membuat kedudukan menjadi imbang 1-1 pada menit ke 28. Setelah gol tersebut, mentalitas tim seperti drop, permainan menjadi kacau seperti tanpa pola, pemain tampak panik, gugup, grogi, dan ketakutan bahwa mungkin mereka akan menerima hasil buruk di pertandingan ini yang membuat mereka tidak dapat menggusur Milan di puncak klasemen.
Sisi lain, seusai menyamakan kedudukan, pemain Bologna lebih bermain lepas dan termotivasi untuk memenangkan pertandingan.
Dua sisi yang terjadi pada pertandingan tersebut membawa hasil buruk pada puncaknya. Bologna menjadi unggul setelah Radu membuat kesalahan konyol, yang sialnya bertahan hingga peluit panjang ditiupkan.
Kegagalan meraih poin penuh di Stadion Renato del Ara, tidak hanya membuat INTER gagal menggeser Milan dari puncak klasemen namun pada akhirnya juga berimbas pada kandasnya impian untuk mempertahankan Scudetto dan menambah bintang di atas logo tim, karena setelahnya Milan mengambil poin penuh pada 4 pertandingan yang tersisa di musim tersebut.
Laga kedua adalah laga Derby Della Madonnina pada pekan ke 24. Sampai dengan pekan ke 23, INTER tengah unggul 4 poin atas Milan yang saat itu berada di posisi ketiga. Bertindak sebagai tuan rumah, INTER malah kalah 1-2 atas Milan kala itu.
Hasil yang membawa perbedaan poin menjadi hanya terpaut 1 angka saja di papan klasemen. Namun dampaknya ternyata bukan itu saja, dengan kekalahan tersebut INTER seperti memberi bahan bakar motivasi tambahan bagi skuat Milan, karena setelahnya para penggawa Milan sangat percaya diri untuk mengejar Scudetto dan membuat mereka tidak terkalahkan selama 14 pekan terakhir (dari pekan 25 sampai 38) hingga akhirnya mampu menyegel Scudetto di akhir musim.
Dari dua laga tersebut dapat kita saksikan bahwa satu laga memberi dampak moral luar biasa kepada tim rival dalam perjalanan menuju Scudetto, dan satu laga lainnya membawa konsekuensi terhadap kegagalan INTER meraih Scudetto.
Nasi sudah menjadi bubur, musim pertama Inzaghi bersama INTER di Serie-A tidak berakhir manis malah terbilang tragis, tapi untungnya Inzaghi merupakan sosok pembelajar.
Pada musim ketiganya bersama INTER, Inzaghi menambal kekurangan-kekurangan yang ada pada taktiknya selama 2 musim sebelumnya bersama INTER, dan hasilnya tidak hanya permainan cantik mengalir saja yang disajikan akan tetapi poin di papan klasemen yang mentereng.
Sampai dengan pekan ke 30, INTER hanya 5 kali kehilangan poin penuh dengan 4 kali imbang dan hanya sekali kalah ketika melawan Sassuolo.
Hasil tersebut membuat INTER unggul 14 poin atas Milan di posisi kedua dengan 8 pertandingan tersisa. Keunggulan jauh dengan hanya sedikit laga yang tersisa, membuat Interisti kembali terbius akan Scudetto ke 20-nya, seperti halnya di musim pertama Inzaghi, namun dengan dosis yang lebih tinggi. Hal yang sangat wajar, namun tetap saja selama sesuatu belum benar-benar usai maka itu belumlah selesai. Jika secara matematis INTER belum menyegel Scudetto, maka apa pun masih bisa terjadi di dunia ini, termasuk dengan peluang Milan untuk menyalip INTER di puncak klasemen dan malah duluan meraih bintang kedua, walau dengan presentase yang terbilang kecil.
Bagi yang sudah mengikuti liga top Eropa dari tahun 90-an, maka kisah Manchester United (MU) yang menyalip Newcastle United pada musim 1995/1996 untuk menyabet gelar Liga Inggris adalah contoh nyata bahwa sebuah tim dapat membalikkan keadaan walau perbedaan poin terpaut cukup jauh.
Sampai dengan pekan ke 27, perbedaan poin antara Newcastle dengan MU sudah mencapai 9 poin. Dengan 11 laga tersisa, banyak orang yang menyangsikan bahwa Newcastle akan terpeleset terlalu banyak, dan meyakini mereka akan merebut gelar Liga Inggris kedua mereka pada musim tersebut.
Namun petaka terjadi pada 2 laga selanjutnya, Newcastle hanya bermain imbang dengan Manchester City pada pekan ke 28 dan fatalnya pada pekan ke 29 mengalami kekalahan langsung dari pesaing terdekat dalam perebutan juara Liga Inggris, MU, yang membuat perbedaan hanya menjadi 4 poin saja.
Dampaknya tidak hanya soal semakin tipisnya jarak di antara Newcastle dan MU, tapi juga memukul kepercayaan diri serta mental tim Newcastle dan justru makin menyuburkan api semangat MU untuk menyalip Newcastle di sisa kompetisi, karena setelahnya dengan 9 laga tersisa, Newcastle menelan 3 kekalahan dan 2 kali imbang, sedangkan MU berhasil memenangkan 7 laga dan hanya mengalami 1 kali imbang dan 1 kali kekalahan, untuk akhirnya berhasil mengkudeta puncak klasemen sekaligus meraih gelar juara Liga Inggris yang ke 10.
Kapten MU kala itu, Steve Bruce, mengatakan bahwa para pemain Newcastle tampak saling menyalahkan dan mengalami ketegangan setelah banyak kehilangan poin penuh dalam balapan perebutan juara. Sebuah kondisi yang dengan baik dimanfaatkan oleh MU, yang memiliki mentalitas kuat dan pengalaman dalam hal kejar-kejaran menggapai juara terutama dalam diri manajer mereka, Alex Ferguson, serta pemain bad boy mereka, Erick Cantona.
Belajar dari pengalaman kecut di Serie-A saat musim pertama membesut INTER, Inzaghi terlihat paranoid terutama setelah tersingkir dari UCL serta saat bersua Udinese pada pekan ke 31.
Usai tersisih dari UCL di babak 16 besar dari Atletico Madrid, membuat tim terkena mental, dan itu secara implisit dikatakan Inzaghi selepas laga dengan mengatakan bahwa tim ini tidak terbiasa dengan kekalahan, dan itu benar adanya karena jumlah kekalahan INTER di semua ajang pada musim ini hanyalah 3 kali saja, dengan kekalahan terakhir sebelumnya diderita pada ajang Coppa Italia melawan Bologna pada akhir Desember 2023 yang lalu atau terjadi hampir 3 bulan sebelumnya.
Terlempar secara menyakitkan di ajang UCL dampaknya terlihat ketika memasuki kembali ajang Serie-A. Kualitas permainan tampak sangat menurun dibandingkan sebelumnya, yang membuat INTER ditahan imbang Napoli 1-1 di kandang sendiri. Hasil yang membuat selisih poin dengan Milan yang berada di posisi kedua menjadi menyusut, dari awal 16 poin menjadi 14 poin, dengan 9 laga tersisa.
Pekan selanjutnya penampilan INTER belum sepenuhnya membaik ketika bertemu Empoli terutama performa di babak pertama, namun untungnya INTER masih mampu membungkus 3 poin penuh.
Memasuki pekan ke 31, Milan memberikan tekanan kepada INTER karena mereka bermain lebih awal dan berhasil mengalahkan Lecce 3-0, sehingga perbedaan hanya menjadi 11 poin.
Walau selisih poin masih terhitung cukup jauh andai INTER kehilangan poin penuh di laga melawan Udinese, sikap dan mentalitas Inzaghi dan tim pantas diacungi jempol pada pekan ke 31 yang lalu. Mereka menyadari bahwa perebutan Scudetto ini belumlah usai, hal ini tercermin dari bagaimana taktik yang dilakukan Inzaghi serta reaksi tim pada pertandingan tersebut.
Saat keadaan tengah imbang 1-1 dan pertandingan masih tersisa 16 menit waktu normal, Inzaghi berani memasukkan Sanchez sebagai penyerang ketiga mengganti Hakan yang merupakan seorang gelandang bertahan, ditambah masuknya pemain lain yang lebih agresif dalam menyerang seperti halnya Buchanan dan juga Frattesi.
Hal tersebut memperlihatkan bagaimana Inzaghi benar-benar menginginkan kemenangan walau mungkin akan sedikit memberikan lubang pada aspek pertahanan. Keinginan besar Inzaghi untuk menang lewat perjudiannya memasukkan pemain-pemain dengan tipe lebih menyerang, membuahkan hasil setelah gol Frattesi di menit-menit akhir pertandingan membawa INTER membalikkan keadaan menjadi 2-1 atas tuan rumah Udinese. Reaksi tim atas gol kemenangan yang tercipta serta ketika wasit meniup peluit panjang juga menunjukkan hasrat tinggi untuk memenangkan pertandingan tersebut.
All’ultimo respiro ????️#ForzaInter #UdineseInter pic.twitter.com/4IGlilYvt7
— Inter (@Inter) April 9, 2024
Inzaghi dan tim memilih sikap paranoid saat berjumpa Udinese dengan mengabaikan perbedaan poin yang cukup jauh dengan Milan. INTER ingin memastikan untuk semakin menekan harapan Milan dalam upaya menyalip INTER pada race Scudetto yang sedikit lagi mendekati ujung perlombaan.
Dengan kemenangan atas Udinese, maka INTER perlu 2 kali kemenangan beruntun (andai Milan juga menang di pekan 32) saat bertemu Cagliari di kandang sendiri dan saat meladeni Milan dengan status sebagai tuan rumah, untuk memastikan Scudetto yang ke 20 sudah dalam genggaman, atau jika itu tidak terpenuhi, maka INTER setidaknya perlu 8 poin tambahan dari 7 laga tersisa (andai Milan mampu sapu bersih kemenangan di 7 pertandingan akhir musim ini) untuk memastikan Scudetto kembali berlabuh ke pangkuan INTER.
Walau dengan kemenangan atas Udinese seolah Scudetto sudah berada di pelupuk mata, namun sekali lagi perlombaan menuju Scudetto belumlah usai. Tetaplah paranoid seperti apa yang dilakukan Sequoia Capital, sampai optimisme untuk merebut Scudetto terwujud nyata di depan mata.