Setelah melewati rangkaian pelatihan yang berat, Na Hee-Do akan menjalani ujian terakhirnya sebelum mengikuti seleksi pemilihan atlet tim nasional anggar Korea Selatan dengan melakukan uji tanding melawan pelatihnya sendiri.
Sesuai prediksi, pelatihnya diceritakan menang dengan “mudah” atas Na Hee-Do. Bukannya mendapat pemakluman yang diterima Na Hee-Do atas kekalahannya tersebut, namun justru “murka” sang pelatih.
Bukan perkara teknik permainan yang jadi perhatian pelatihnya – yang pastinya sudah dimaklumi karena masih di bawah kemampuan sang pelatih, akan tetapi mentalitas yang ditunjukkan Na Hee-Do sepanjang duel berlangsung.
“Kau kalah karena sejak awal kau berpikir akan kalah, dan aku mengetahuinya” ujar Yang Chan-Mi, pelatih dari Na Hee-Do.
Adegan lainnya menunjukkan uji tanding antara Na Hee-Do melawan Ko Yu Rim yang berada pada klub anggar SMA yang sama. Ko Yu Rim sendiri merupakan anggota tim nasional anggar Korea Selatan sekaligus peraih medali emas kompetisi internasional, sedangkan Na Hee-Do merupakan murid pindahan dengan status medioker sebagai atlet anggar namun memiliki tekad kuat untuk menjadi salah satu yang terbaik di cabor anggar.

(Sumber Gambar: akun X @CjnDrama)
Hasilnya ternyata di luar dugaan, karena malah Na Hee-Do yang berhasil memenangkan uji tanding tersebut.
Saya melihat dua adegan uji tanding yang terdapat pada Drama Korea berjudul Twenty Five Twenty One seperti apa yang ditunjukkan INTER melawan Milan di musim ini.
Roda yang Berputar
Mengarungi musim 2024/2025, INTER berstatus sebagai juara bertahan dengan hasil yang sangat impresif di musim lalu, termasuk dengan kemenangan kandang dan tandang atas seteru abadinya AC Milan. Kemenangan mencolok 5-1 saat bertindak sebagai tuan rumah dan 2-1 saat menjalani laga tandang yang sekaligus membawa INTER meraih Scudetto ke 20 di hadapan sebagian besar pendukung Milan. Dua kali menaklukkan Milan pada musim 2023/2024 melengkapi catatan 4 kali kemenangan sebelumnya atas Milan di berbagai ajang sejak musim 2021/2022, sehingga membuat INTER mampu mengandaskan perlawananan Milan hingga 6 kali beruntun di semua komptetisi, tanpa mampu dijeda sekalipun oleh Milan baik hasil imbang apalagi memberikan kekalahan bagi INTER.
Memasuki Derby Della Madonnina pertama di musim 2024/205 pada lanjutan Seri-A pekan ke 5, keyakinan tampak dari fans INTER di lini masa media sosial, bahwa laga ini akan menjadi rutinitas untuk mendulang 3 poin, apalagi pertandingan ini akan berlangsung dengan INTER bertindak sebagai tuan rumah. 6 kali kemenangan sebelumnya seolah akan mudah diduplikasi kembali pada laga kali ini, ditambah dengan hasil pertandingan sebelumnya yang mampu diraih INTER yang mampu menahan imbang favorit juara UCL, City, di kandangnya sendiri, serta kemenangan besar atas Atalanta di Serie-A. Sedangkan Milan mengalami kekalahan di kandang sendiri atas Liverpool di ajang UCL, dan hanya mampu meraih 5 poin dari 4 laga di Serie-A. Hasil-hasil yang menjadikan INTER sebagai favorit sebagai pemenang di laga ini adalah hal yang normal dan masuk akal.
BACA JUGA:
2). Takdir Inzaghi
3). Lukaku, Bumi Tidak Hanya Berputar Untukmu Saja
4). Udinese 1–2 INTER: Paranoid Membawa Kemenangan
5). [Giornata 17] Roma 2–2 INTER: Handa yang Doyan Lakuin Mannequin Challenge
Namun, ternyata jalannya laga dan hasil pertandingan membuat terkejut semua pihak. Saya melihat INTER awalnya memiliki kepercayaan diri yang berlebihan yang mengarah pada sikap seolah akan dengan mudah memenangai pertandingan tersebut. Tim terlihat lengah pada awal-awal pertandingan sehingga kecolongan lewat gol Pulisic, namun tidak terlihat penurunan kepercayaan diri para pemain INTER yang tetap tampak percaya diri bahwa nantinya di akhir pertandingan mereka yang akan keluar jadi pemenang, apalagi tidak berselang lama Dimarco mampu menyamakan kedudukan. Namun, setelahnya strategi dan mentalitas pemain Milan di sepanjang laga tersisa membuat INTER kewalahan dan menderita. Motivasi berlipat, fighting spirit, keinginan besar untuk bisa menang ditunjukkan para penggawa Milan, tidak tampak rasa takut lagi ketika menghadapi INTER – suatu mentalitas yang tidak terlihat ketika era Pioli, yang akhirnya membawa mereka menorehkan kemenangan pertama setelah sebelumnya 6 kali dipermak INTER.

(Image Copyright: AP Photo/Luca Bruno)
Kemenangan mengagetkan Milan atas INTER di laga perdana Derby Della Madoninna musim ini seperti apa yang terjadi pada dua adegan uji tanding pada DraKor Twenty Five Twenty One. Ko Yu Rim selaku pemegang medali emas anggar tentu saja sangat percaya diri bahwa dirinya akan dengan mudah menaklukan Na Hee-Do yang berada pada jajaran atlet semenjana, tapi hasil akhirnya justru berkata lain.
Yang Chan Mi selaku pelatih mengatakan bahwa kekalahan Ko Yu Rim karena dia “buta” terhadap kemampuan Na Hee-Do. Inilah uji tanding perdana di level senior antara Na Hee-Do yang baru saja pindah sekolah dan juga pindah klub anggar melawan rekan satu klubnya yang merupakan juara di level internasional, yang membuat Ko Yu Rim tidak tahu menahu soal kapasitas seorang Na Hee-Do, sedangkan Na Hee-Do sudah mengetahui sangat detail kemampuan dan cara bermain Ko Yu Rim karena merupakan atlet favoritnya selama ini. Kombinasi percaya diri berlebih dan “blank” kekuatan lawan menjadi petaka bagi Ko Yu Rim.
Saya melihat kekalahan INTER seperti kekalahan yang dialami Ko Yu Rim. Pertemuan Inzaghi dengan Fonseca sebagai pelatih di Serie-A memang bukanlah yang pertama. Mereka sempat bertemu saat Inzaghi membesut Lazio dan Fonseca menukangi Roma, namun inilah pertandingan perdana antara INTER-nya Inzaghi dengan Milan-nya Fonseca.
INTER percaya diri bahwa mereka akan kembali mampu “membungkus” Milan, tapi ternyata mereka tidak tahu bahwa strategi dan terutama mentalitas lawan telah berubah. Mentalitas Milan bukan lagi seperti Na Dee-Ho kala melawan pelatihnya saat uji tanding, di mana INTER mengetahui para pemain Milan terlihat tidak memiliki keyakinan besar mampu menang melawan mereka.
Saat Milan era Pioli, terutama mungkin setelah mengalami hattrick kekalahan dari INTER, mereka seperti kena mental. Tidak hanya pemain Milan akan tetapi Pioli juga sebagai pelatih. Pioli sebenarnya bukan tanpa usaha untuk meruntuhkan dominasi kemenangan INTER atas Milan, seingat saya Pioli pernah melakukan mirroring formasi dengan menempatkan 3 bek di lini pertahanan, dan bahkan menggeser Leao sebagai penyerang no. 9, setelah perannya sebagai winger mati kutu dihadang duet Dumfries dan Darmian. Namun, kekalahan demi kekalahan di laga sebelumnya apalagi di partai yang sarat gengsi seperti semifinal UCL dan juga perebutan juara Supercoppa Italiana, berhasil menjatuhkan mental Milan, terlihat dari mereka yang tampak seperti sudah menyerah kala gawangnya sudah dijebol duluan. Dan itu terbukti dari sepanjang 6 kekalahan beruntun yang diterima Milan, mereka selalu kebobolan terlebih dahulu dan bahkan sebelum laga di musim 2023/2024, mereka tidak pernah mampu menjebol gawang INTER.
Berbeda dengan Pioli, Fonseca tidak mempunyai beban mental dan memori kekalahan beruntun atas INTER-nya Inzaghi. Fonseca seperti me-reset mentalitas dan memori pemain Milan kala bersua INTER. Seperti kata petugas di pom bensin PERTAMINA: “Mulai dari Nol”, dan itu terbukti dari bagaimana mereka untuk pertama kalinya berhasil menggetarkan jala gawang INTER duluan setelah 6 pertemuan sebelumnya, menyulitkan INTER sepanjang laga, dan sesudah 2,5 tahun akhirnya mampu kembali menang atas INTER.
Seperti halnya kekalahan Ko Yu Rim, perpaduan percaya diri berlebih dengan ketidaktahuan perubahan strategi dan mentalitas lawan membuat INTER takluk pada derby perdana di musim ini.
***
INTER dan Milan kembali bertemu untuk kedua kalinya di musim ini, namun bukan pertemuan kedua di Serie-A, akan tetapi di Final Supercoppa Italiana. Pada babak semifinal, INTER yang tengah di performa bagus berhasil mengalahkan Atalanta yang juga tengah dalam penampilan luar biasa, sedangkan Milan secara tidak terduga berhasil membalikkan keadaan atas Juventus, padahal tengah terjadi pergantian di kursi pelatih kepala setelah Fonseca dilengserkan dan diganti Conceicao.
INTER kembali difavoritkan di laga final mengingat performa yang stabil di Liga Serie-A dan Liga Champions dibandingkan Milan yang inkonsisten, walau di pertemuan pertama musim ini dikalahkan Milan. Namun, ternyata Milan justru kembali mencundangi INTER untuk merengkuh gelar perdananya di musim ini.
Sebenarnya saya melihat bahwa INTER sudah belajar dari kekalahan dari pertemuan pertama. Para pemain terlihat mempunyai tekad untuk membalas hasil di laga perdana, waspada dengan tidak menganggap bahwa kemenangan akan mudah diraih, tidak percaya diri berlebihan, dan hal tersebut terlihat dari sikap di lapangan dan juga keunggulan dua gol awal. Namun, kemenangan di pertemuan pertama benar-benar menjadi morale booster bagi para pemain Milan. Mereka tampak tidak menyerah begitu saja walau sudah tertinggal dua gol, dan terus memberikan perlawanan sengit, sehingga akhirnya mencetak gol pengecil kedudukan. Setelahnya kepercayaan diri dan motivasi mereka lebih meningkat untuk membalikkan kedudukan, sedangkan INTER terlihat seperti panik dan ketakutan bahwa lawan akan kembali bisa memenangkan pertandingan. Dan yang ditakutkan pun terjadi, Milan berhasil mencetak dua gol tambahan untuk mengunci trofi Supercoppa Italiana.
Upaya Memutar Kembali Roda
Dua kali kemenangan beruntun di musim ini semakin membuat kepercayaan diri Milan lebih jauh meningkat ketika menatap derby, namun sebaliknya semakin membuat INTER tidak sepercaya diri dulu untuk mengandaskan Milan. INTER menyadari bahwa Milan yang sekarang bukan lagi yang mereka hadapi dalam 6 laga kemenangan beruntun, tapi yang mampu mengalahkan mereka dua kali di musim ini.
Dan kembali hal tersebut terlihat pada pertemuan ketiga musim ini pada lanjutan pekan ke 23 Serie-A. Walau kendali di babak pertama lebih dominan INTER, Milan terlihat dengan sabar dan lewat pertahanan solid dan compact mampu menghadang segala serangan INTER, dan menunggu momen yang tepat untuk meluncurkan serangan balik cepat yang mematikan. Berawal dari bola yang direbut dari Hakan oleh Abraham (walaupun soal ini diperdebatkan karena banyak yang menganggap ini pelanggaran) di lini tengah, Milan mampu melakukan transisi yang baik dari mode bertahan ke menyerang untuk melakukan serangan balik cepat lewat pemain-pemain dengan pace tinggi seperti Leao, Theo, dan Reijnders, yang akhirnya menghasilkan gol oleh Reijnders untuk membawa mereka unggul 1 gol di babak pertama.
Untunglah di babak kedua, para pemain INTER tidak patah arang duluan dan mau berjuang habis-habisan di babak kedua, sedangkan Milan dengan berbekal keunggulan 1 gol di babak pertama, mereka mengambil strategi untuk bertahan lebih dalam dan menumpuk pemainnya serta mengandalkan counter attack untuk bisa mempertahankan kemenangan sementaranya.
Pemain INTER terlihat sedikit frustasi ketika 3 kali upaya mereka digagalkan tiang gawang bagian kiri Maignan. Namun, usaha tanpa henti INTER pun akhirnya membuahkan hasil di menit-menit akhir pertandingan lewat gol de Vrij setelah menerima asis dari anak baru, Zalewski.

(Sumber Gambar: akun X@FCIM_Pictures)
Pancaran bahagia dan kelegaan terlihat dari selebrasi yang diperlihatkan INTER. Conceicao menyebutnya seolah-oleh INTER berhasil memenangkan pertandingan. Memang gol tersebut bukan gol kemenangan, tapi gol yang sangat penting karena selain berhasil menggagalkan kemenangan Milan juga mengangkat beban moral yang menghinggapi tim atas dua kali kekalahan beruntun sebelumnya dan menekan tingkat kepercayaan diri Milan. Setidaknya dengan hasil imbang tersebut INTER mendapat kembali kepercayaan diri untuk memperoleh hasil positif ketika nantinya melawan Milan kembali. Tidak terbayang jika INTER mencetak hattrick kekalahan secara beruntun atas Milan, yang memungkinkan akan terjadinya switch mentalitas antara INTER dengan Milan pada pertemuan-pertemuan selanjutnya, dengan Milan mempunyai keyakinan diri yang membumbung tinggi kala kembali berhadapan dengan INTER, namun INTER diliputi keraguan akan mampu mengalahkan Milan bahkan sebelum memasuki lapangan, seperti apa yang terjadi sebelumnya saat Milan dibungkam INTER 6 kali beruntun.
Dua kali kekalahan dan satu kali imbang dari Milan, membuat INTER gagal mempertahankan gelar Supercoppa Italiana dan membuat tersendat dalam upaya mengejar Napoli di puncak klasemen. Roda tengah berputar ke atas bagi Milan dan ke bawah bagi INTER soal urusan derby. Namun, hasil imbang di pertemuan terakhir setidaknya membuat roda sedikit kembali bergerak ke arah atas bagi INTER, dan menjadi bekal yang cukup baik sebelum kembali terjadinya derby, apalagi terdapat potensi di musim ini INTER akan kembali bersua Milan di ajang Coppa Italia dan juga babak 16 besar UCL.
Upaya memutar roda kembali ke atas oleh INTER sebenarnya bukan saja ketika menghadapi Milan, namun juga menghadapi lawan-lawan lain di kompetisi yang tengah diikuti, terutama di gelaran Serie-A. Kesulitan INTER meraup 3 poin ketika menghadapi tim-tim yang bercokol di papan atas, menandakan bahwa tim lawan sudah mendapatkan antitesis terhadap strategi Inzaghi.
Terakhir, INTER dipermak Fiorentina dengan skor telak 3 gol tanpa balas. Palladino yang biasanya menginstruksikan timnya bermain lebih menguasai bola dan menyerang, ketika bertemu INTER lebih banyak menunggu di belakang untuk mampu mencuri gol lewat skema serangan balik cepat. Hal ini menunjukkan bahwa INTER terlihat kewalahan menghadapi lawan yang memiliki kualitas dan kemampuan bertahan secara solid dan compact, dan dapat melakukan serangan balik kilat melalui pemain-pemain yang mempunyai kecepatan tinggi, sama halnya dengan kejadian saat melawan Milan. Sesuatu yang harus Inzaghi cari solusi secepatnya, karena pada bulan Februari sampai setidaknya Maret nanti, INTER akan menghadapi lawan-lawan kuat di Serie-A seperti kembali bertemu Fiorentina, kemudian Juventus, disusul Lazio, dan pada bulan Maret bertemu dengan Napoli, serta Atalanta. Perjuangan tidak mudah mempertahankan gelar Scudetto di tengah lawan yang sudah mengenal apa yang dilakukan INTER-nya Inzaghi.