Beberapa waktu yang lalu, saya mendapatkan sebuah pekerjaan yang sebenarnya sudah lama tidak saya lakukan. Banyak teknis serta alur pekerjaan tersebut yang saya lupa. Sesaat setelah menerima pekerjaan tersebut, saya meraba-raba kembali garis besar pengerjaannya, mulai dari awal sampai dengan akhir. Setelah mengumpulkan kembali memori yang berserakan, dan mulai mengingat kembali sebagian besar rangkaian pekerjaan yang harus saya lakukan, saya pun memulai pekerjaan tersebut. Di tengah pengerjaan, banyak teknis pekerjaan yang saya juga sudah tidak terlalu ingat. Untunglah saya tipe orang yang selalu mencatat dengan cukup detail pada sebuah buku catatan terkait teknis pekerjaan yang pernah saya kerjakan. Saya terselamatkan oleh “primbon” tersebut, dan pekerjaan pun dapat diselesaikan dengan baik.
Apa yang saya rasakan terkait pekerjaan yang lama tidak saya sentuh, mungkin sama dengan apa yang Eriksen rasakan pada pertandingan melawan Fiorentina di ajang Copa Italia. Eriksen saat ini bukanlah Eriksen yang terbiasa menghirup bau rumput lapangan beserta bau badan rekan setimnya, lawan mainnya, dan juga wasit, yang ia cium sejak awal pertandingan. Eriksen yang sekarang lebih familiar dengan aroma Padelli dan Radu yang sampai saat ini belum pernah sedikit pun mengeluarkan harum semerbak bau badannya kala berjibaku menghalau tendangan dan sundulan pemain lawan di lapangan. Jadi ketika ia mendapatkan kembali kesempatan untuk mencium bau ketiaknya RG5 di lapangan sedari awal pertandingan, pasti doi pun akan kembali “meraba-raba” untuk nyetel dengan rekan setim lainnya yang sudah terbiasa bermain hampir setiap pekannya.
Inner Game
Pada salah satu isi buku Self–Coaching karya Darmawan Aji dibahas mengenai Inner Game. Inner Game merupakan istilah yang dibuat oleh Timothy Gallwey seorang tennis coach yang penasaran dengan kinerja seorang atlet pro. Doi ingin mengetahui mengapa terdapat seorang atlet pro yang dapat bermain luar biasa pada suatu pertandingan, namun melempem pada pertandingan lainnya. Setelah menelusuri dan meneliti sekian lama, akhirnya Gallwey mengetahui bahwa performa atlet dalam sebuah pertandingan merupakan cerminan dari permainan yang ada dalam dirinya (inner game). Pikiran, perasaan, dan suasana hati seorang atlet sangat mempengaruhi apa yang ia tampilkan di lapangan. Jika seorang atlet dapat mengelola inner game dengan baik, maka peluang untuk menampilkan kemampuan terbaiknya di lapangan akan sangat besar.
BACA JUGA:
1). [Giornata 15} INTER 6–2 Crotone: Sudah Saatnya Vidal Temani Kolarov di Bench
2). [Giornata 16] Sampdoria 2–1 INTER: Apa yang sebenarnya ada dalam kepala Conte?
3). [Giornata 17] Roma 2–2 INTER: Handa yang Doyan Lakuin Mannequin Challenge
Untuk atlet kelas dunia seperti Eriksen, skill main bolanya pasti tidak ada yang meragukan. Nggak perlu lagi diajari bagaimana teknik mengumpan dengan baik, melepaskan tendangan menuju sasaran, serta berbagai teknik lain yang mungkin sudah doi hafal di luar kepala karena doi sudah melatihnya setiap hari selama belasan tahun. Seperti kata Tsubasa, bola adalah teman bagi Eriksen dan juga pemain-pemain sepakbola pro lainnya. Namun masalahnya bukan soal olah bolanya saja, tidak hanya perihal bagaimana Eriksen harus dapat melebur dengan rekan setimnya dan juga skema yang diinginkan Conte, tetapi doi juga harus berhadapan dengan perasaan yang ada dalam dirinya. Bayangkan saja di klub sebelumnya, Erik adalah pemain yang hampir tidak tergantikan, akan tetapi sekarang doi hanya pilihan ketiga di lini tengah Inter. Butuh mentalitas yang kuat untuk kembali dapat memulihkan kepercayaan dirinya yang pastinya sedikit demi sedikit sudah terkikis oleh menit bermain yang minim.
Permainan Eriksen kala bermain menghadapi Fiorentina, saya melihatnya sebagai cerminan dari inner game yang ada dalam diri Eriksen. Terlihat doi kurang percaya diri sehingga tampil tidak sesuai ekspektasi. Beberapa media rata-rata memberinya nilai 5.5. Tercatat dua kali kesalahan umpan serta bola yang berhasil direbut lawan hampir berakibat fatal. Namun disamping kekeliruan tersebut, terdapat beberapa hal positif yang dilakukan Eriksen. Gol pertama Inter berasal dari tendangannya di luar kotak penalti yang dihalau kurang sempurna oleh kiper Fiorentina, yang setelahnya melakukan pelanggaran terhadap Sanchez. Selain itu doi tercatat sebagai pemain yang paling banyak berlari di lapangan pada laga tersebut. Eriksen terlihat ingin menjadi gelandang seperti yang diinginkan Conte, mau berlari kesana kemari dan secara spartan merebut bola dari kaki pemain lawan seperti yang dilakukan para gelandang inti Inter saat ini.
Saya melihat pada pertandingan tersebut doi mulai meningkat percaya dirinya dan permainannya jauh membaik, ketika doi yang menempati pos Brozo menjadi seorang regista, tidak digantikan Conte ketika Brozo masuk pada menit ke 94. Mungkin doi merasa dihargai oleh Conte ketika doi dapat bermain penuh tanpa diganti dalam sebuah pertandingan, setelah selama musim ini berjalan doi lebih sering menjadi pemain pengganti ataupun kalau main sejak awal, doi hampir selalu diganti di tengah-tengah pertandingan.
Pada laga-laga selanjutnya terutama pertandingan di liga, sulit nampaknya kita dapat melihat kembali Eriksen berlaga dari awal pertandingan. Posisinya di regista masih lebih baik dijalankan seorang Brozovic, sedangkan sisa gelandang yang lain sudah disegel oleh Barella dan juga Vidal.
Dengan kondisi keuangan klub-klub dunia yang seret karena terdampak Corona, kondisinya menjadi rumit ketika doi ingin berpindah klub di tengah musim ini. Masuknya Pochettino ke PSG yang diyakini dapat menyelamatkan kondisinya di Inter, nyatanya malah memilih Alli.
Jika ternyata Eriksen harus menghabiskan sisa musim ini tetap dengan berseragam Inter, maka mau tidak mau doi harus mengelola inner game yang ada dalam dirinya. Doi harus terus bekerja keras sembari terus berpikiran dan berperilaku positif, sehingga ketika kesempatan itu datang, doi dapat memberikan penampilan terbaiknya hasil cermin dari pengelolaan inner game-nya yang baik. Doi dapat menjadikan Skriniar sebagai panutan dalam hal ini. Bagaimana Skrini yang menjadi andalan tidak tergantikan di era Spaletti menjadi pesakitan di musim pertama Conte melatih. Skrini juga di awal kesulitan menyesuaikan diri dalam skema 3 bek khas Conte dan sempat mau dilego di awal musim, namun lihatlah Skrini sekarang, penampilannya solid bak batu karang bersama dengan de Vrij dan juga Bastoni. Tentu hal itu tidak terlepas dari kemauannya yang kuat untuk bertahan di Inter dan mendapatkan kembali tempatnya di tim inti, wujud dari pengelolaan inner game yang cakap.
Kalaupun ternyata doi tetap tidak terlalu dipakai dalam sisa perjalanan Inter musim ini, maka pikiran, perasaan, dan suasana hati yang positif, tetap akan memberikan hasil yang lebih baik, karena masa depan tidak ada yang tahu. Siapa tahu ternyata Conte musim depan tidak lagi menjadi nakhoda di Inter dan Eriksen sudah siap menyambut pelatih baru dengan kepercayaan diri dan harapan yang tinggi masuk dalam skema pelatih anyar tersebut.
***
Buat kamu interisti yang senang nulis, bisa banget mejeng tulisannya di website ini. Persyaratannya dapat dilihat pada link berikut: NULIS TENTANG INTER